Gejala dan Pengobatan Penyakit Kusta

...

Penyakit lepra, yang juga dikenal dengan sebutan penyakit kusta atau Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan tubuh lainnya di antaranya saraf dan kulit kecuali susunan saraf pusat. 

Serangan pada sistem saraf akan menyebabkan penderitanya mati rasa. Penyakit ini adalah tipe granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. 

Dahulu penyakit ini sempat menjadi salah satu penyakit yang sangat ditakuti. Meski demikian, penyakit kusta sebenarnya dapat diobati dan dicegah.


Penyebab kusta

Kusta atau lepra disebabkan oleh organisme intraseluler obligat  Mycobacterium leprae. Bakteri ini merupakan kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yg tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif. 

Kuman dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin.

Bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia dengan masa inkubasi rata-rata 2 - 5tahun.

Kusta dapat menular jika seseorang terkena percikan droplet dari penderita kusta secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri penyebab lepra tidak dapat menular ke orang lain dengan mudah. Selain itu, bakteri ini juga membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.

Seseorang dapat tertular kusta jika mengalami kontak dengan penderita dalam waktu yang lama. Seseorang tidak akan tertular kusta hanya karena bersalaman, duduk bersama, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya.

Selain penyebab di atas, ada beberapa faktor lain yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena kusta, di antaranya:

  • Bersentuhan dengan hewan penyebar bakteri M.leprae (seperti armadillo atau simpanse) tanpa pelindung sarung tangan.
  • Menetap atau berkunjung ke kawasan endemik kusta.
  • Memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh.


Gejala kusta

Gejala kusta pada awalnya tidak tampak jelas. Bahkan, pada beberapa kasus gejala kusta baru bisa terlihat setelah bakteri kusta berkembang biak dalam tubuh penderita selama 20–30 tahun. Beberapa gejala kusta yang dapat dirasakan penderitanya adalah:

  • Mati rasa di kulit, termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan, atau rasa sakit
  • Kesemutan pada anggota badan
  • Muncul lesi pucat, berwarna lebih terang( hipopigmentasi),  hiperpigmentasi di kulit
  • Benjolan kemerahan di kulit
  • Kulit tidak berkeringat (anhidrosis)
  • Muncul luka tapi tidak terasa sakit
  • Pembesaran saraf yang biasanya terjadi di siku dan lutut
  • Otot melemah, terutama otot kaki dan tangan
  • Kehilangan alis dan bulu mata
  • Mata menjadi kering dan jarang mengedip
  • Mimisan, hidung tersumbat, atau kehilangan tulang hidung

Jika kusta menyerang sistem saraf, maka kehilangan sensasi rasa termasuk rasa sakit bisa terjadi. Hal ini bisa menyebabkan luka atau cedera yang terdapat di tangan atau kaki tidak dirasakan oleh penderitanya, akibatnya bisa muncul gejala hilangnya jari tangan atau jari kaki.

Berdasarkan tingkat keparahan gejala, kusta dikelompokkan menjadi 6 jenis, yaitu:

  • Intermediate leprosy, ditandai dengan beberapa lesi datar berwarna pucat atau lebih cerah dari warna kulit sekitarnya yang kadang sembuh dengan sendirinya.
     
  • Tuberculoid leprosy, ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang berukuran besar, mati rasa, dan disertai dengan pembesaran saraf.
     
  • Borderline tuberculoid leprosy, ditandai dengan munculnya lesi yang berukuran lebih kecil dan lebih banyak dari tuberculoid leprosy.
     
  • Mid-borderline leprosy, ditandai dengan banyak lesi kemerahan, yang tersebar secara acak dan asimetris, mati rasa, serta pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
     
  • Borderline lepromatous leprosy, ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak bisa berbentuk datar, benjolan, nodul, dan terkadang mati rasa.
     
  • Lepromatous leprosy, ditandai dengan lesi yang tersebar dengan simetris, umumnya lesi yang timbul mengandung banyak bakteri, dan disertai dengan rambut rontok, gangguan saraf, serta kelemahan anggota gerak.


Diagnosis kusta

Untuk mendiagnosis kusta atau lepra, dokter akan menanyakan gejala yang dirasakan, kemudian memeriksa kulit pasien. Dokter akan memeriksa apakah ada lesi di kulit sebagai gejala kusta atau tidak. Lesi lepra pada kulit biasanya berwarna pucat atau merah (hipopigmentasi) dan mati rasa.

Untuk memastikan apakah pasien menderita lepra, dokter akan mengambil sampel kulit dengan cara dikerok (skin smear). Sampel kulit ini kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk mengecek keberadaan bakteri Mycobacterium leprae.

Di daerah endemik lepra, seseorang dapat didiagnosis menderita lepra meskipun pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil negatif. Hal ini mengacu pada klasifikasi badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) terhadap penyakit kusta, yaitu:

  • Paucibacillary, yaitu terdapat lesi kulit meskipun hasil tes kerokan kulit (smear) negatif
  • Multibacillary, yaitu terdapat lesi kulit dengan hasil tes kerokan kulit (smear) positif

Jika lepra yang diderita sudah cukup parah, kemungkinan dokter akan melakukan tes pendukung untuk memeriksa apakah bakteri Mycobacterium leprae sudah menyebar ke organ lain atau belum. Contoh pemeriksaannya adalah: hitung darah lengkap, tes fungsi liver atau hati, tes kreatinin, biopsi saraf.


Pengobatan kusta

Pengobatan kepada penderita kusta adalah salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.

Metode pengobatan utama penyakit kusta atau lepra adalah dengan obat antibiotik. Penderita kusta akan diberi kombinasi beberapa jenis antibiotik selama 6 bulan hingga 2 tahun. Jenis, dosis, dan durasi penggunaan antibiotik ditentukan berdasarkan jenis kusta yang diderita.


Komplikasi kusta

Komplikasi kusta dapat terjadi tergantung dari seberapa cepat penyakit tersebut didiagnosis dan diobati secara efektif. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika kusta terlambat diobati adalah:

  • Mati rasa
  • Glaukoma
  • Kebutaan
  • Gagal ginjal
  • Disfungsi ereksi dan kemandulan pada pria
  • Kerusakan bentuk wajah
  • Kerusakan permanen pada bagian dalam hidung
  • Kelemahan otot
  • Cacat permanen, seperti kehilangan alis, cacat pada jari kaki, tangan, dan hidung
  • Kerusakan saraf permanen di luar otak dan saraf tulang belakang, termasuk pada lengan, tungkai kaki, dan telapak kaki

Selain itu, diskriminasi yang dialami penderita dapat mengakibatkan tekanan psikologis atau bahkan depresi, dan dapat berujung pada percobaan bunuh diri.


Pencegahan kusta

Sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah kusta. Diagnosis dini dan pengobatan yang dini dan tepat merupakan pencegahan yang paling baik untuk mencegah komplikasi sekaligus mencegah penularan lebih luas. Selain itu, menghindari kontak dengan hewan pembawa bakteri kusta juga penting untuk mencegah kusta.

Gerakan terpadu untuk memberikan informasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat, terutama di daerah endemik, merupakan langkah penting dalam mendorong para penderita untuk mau memeriksakan diri dan mendapatkan pengobatan.

Pemberian informasi ini juga diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif tentang kusta dan diskriminasi terhadap penderita kusta. Adanya stigma kusta dapat menyebabkan seseorang yang sudah terkena kusta enggan berobat karena takut keadaannya diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga mengakibatkan berlanjutnya mata rantai penularan kusta dan timbul kecatatan pada penderita.

Edukasi kesehatan mengenai lepra atau kusta penting dilakukan baik pada pasien, keluarga, maupun lingkungan sekitar pasien.


Edukasi pasien dan keluarga

  • Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit lepra bukan merupakan penyakit kutukan dan bisa  disembuhkan dengan minum obat teratur dan rutindalam jangka waktu sesuai tipe penyakit kusta.
     
  • Mengedukasi keluarga dan masyarakat di sekitar pasien untuk menghilangkan stigma buruk pada pasien lepra.
     
  • Menjelaskan tentang penyakit pasien dan penyebab kecacatan pada pasien.

 
Edukasi mengenai pengobatan

Pasien lepra disarankan untuk minum obat secara teratur dalam jangka waktu pengobatan yang telah ditentukan. Ketidakteraturan minum obat dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi obat dan mengakibatkan disabilitas yang lebih berat.

Pasien juga diberikan edukasi mengenai efek samping obat yang dapat terjadi seperti urin berwarna merah, perubahan warna kulit menjadi coklat (hiperpigmentasi), gangguan gastrointestinal seperti mual muntah, anemia, gangguan ginjal.

Bila pasien menunjukkan tanda-tanda reaksi alergi / hipersensitivitas setelah minum obat MDT seperti urtikaria, purpura, syok anafilaksis, maka petugas kesehatan harus segera menghentikan obat, memberikan pertolongan pertama serta merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

Obat MDT tidak menghilangkan kecacatan yang sudah ada, tetapi dapat mencegah kecacatan menjadi lebih berat.

Bila pasien telah menyelesaikan terapi MDT, maka pasien tetap dipantau selama 5 – 10 tahun untuk menilai tanda-tanda relapse.

 
Edukasi untuk pencegahan komplikasi

  • Pada pasien juga dilakukan edukasi agar komplikasi dapat dideteksi dini atau diminimalisir.
  • Pasien disarankan untuk memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur.
  • Pasien disarankan untuk melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik,
  • Untuk pasien lepra dengan kecacatan pada mata sehingga mata tidak dapat ditutup (Lagophthalmos) maka pasien disarankan untuk menggunakan kacamata sehingga dapat terlindungi dari debu, ketika tidur tutup mata dengan menggunakan sepotong kain basah, menggunakan artificial tears bila mata sangat kering.
  • Lindungilah tangan dari benda yang panas atau tajam dengan menggunakan sarung tangan tebal.
  • Periksa kaki secara rutin untuk mengetahui apakah ada luka atau tidak. Bila kaki kering dan tebal dapat menggunakan pelembab seperti minyak kelapa.
  • Pasien lepra yang mengalami mati rasa di kaki harus selalu menggunakan alas kaki, memeriksa apakah di kaki ada luka, lecet atau memar serta menghindari penekanan telapak kaki seperti berdiri terlalu lama atau jongkok terlalu lama. Pilih alas kaki yang empuk di bagian dalam tetapi keras di bagian luar untuk melindungi kaki .

Ditulis oleh:
dr. Juliana, Sp.KK
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Mayapada Hospital Kuningan (MHKN)

Jadwal praktik lihat di sini

tags :

Spesialis Kulit Dan Kelamin